Ijma merupakan hujjah, dengan dalil-dalil
diantaranya :
1. Firman Allah :
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِتَكُونُوا
شُهَدَاءَ عَلَى النَّاس
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat
Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)
manusia.” (QS.
Al-Baqoroh : 143)
Maka firmanNya : “Saksi atas manusia“, mencakup
persaksian terhadap perbuatan-perbuatan mereka dan hukum-hukum dari perbuatan
mereka, dan seorang saksi perkataannya diterima.
2. Firman Allah :
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى
اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“Jika kalian berselisih tentang sesuatu maka
kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (QS. An-Nisa’ : 59)
menunjukkan atas bahwasanya apa-apa yang telah mereka
sepakati adalah benar.
3. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لا تجتمع أمتي على ضلالة
“Umatku tidak akan bersepakat diatas kesesatan”
4. Kami mengatakan : Ijma’ umat atas sesuatu bisa jadi
benar dan bisa jadi salah, jika benar maka ia adalah hujjah, dan jika salah
maka bagaimana mungkin umat yang merupakan umat yang paling mulia disisi Allah
sejak zaman Nabinya sampai hari kiamat bersepakat terhadap suatu perkara yang
batil yang tidak diridhoi oleh Allah? Ini merupakan suatu kemustahilan yang
paling besar.
Macam-macam ijma’ :
Ijma’ ada dua macam : Qoth’i dan Dzonni.
1. Ijma’ Qoth’i : Ijma’ yang diketahui
keberadaannya di kalangan umat ini dengan pasti, seperti ijma’ atas wajibnya
sholat lima waktu dan haramnya zina. Ijma’ jenis ini tidak ada seorangpun yang
mengingkari ketetapannya dan keberadaannya sebagai hujjah, dan dikafirkan orang
yang menyelisihinya jika ia bukan termasuk orang yang tidak mengetahuinya.
2. Ijma’ Dzonni : Ijma’ yang tidak diketahui
kecuali dengan dicari dan dipelajari (tatabbu’ & istiqro’).
Dan para ulama telah berselisih tentang kemungkinan tetapnya ijma’ jenis ini,
dan perkataan yang paling rojih dalam masalah ini adalah pendapat Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah yang mengatakan dalam Al-Aqidah Al-Wasithiyyah :
“Dan ijma’ yang bisa diterima dengan pasti adalah ijma’nya as-salafush-sholeh,
karena yang setelah mereka banyak terjadi ikhtilaf dan umat ini telah
tersebar.”
Ketahuilah bahwasanya umat ini tidak mungkin
bersepakat untuk menyelisihi suatu dalil yang shohih dan shorih serta tidak
mansukh karena umat ini tidaklah bersepakat kecuali diatas kebenaran. Dan jika
engkau mendapati suatu ijma’ yang menurutmu menyelisihi kebenaran, maka
perhatikanlah! Mungkin dalilnya yang tidak shohih atau tidak shorih atau
mansukh atau masalah tersebut merupakan masalah yang diperselisihkan yang kamu
tidak mengetahuinya.
Syarat-syarat ijma’ :
Ijma’ memiliki syarat-syarat, diantaranya :
- Tetap
melalui jalan yang shohih, yaitu dengan kemasyhurannya dikalangan ‘ulama
atau yang menukilkannya adalah orang yang tsiqoh dan luas pengetahuannya.
- Tidak
didahului oleh khilaf yang telah tetap sebelumnya, jika didahului oleh hal
itu maka bukanlah ijma’ karena perkataan tidak batal dengan kematian yang
mengucapkannya.
Maka ijma’ tidak bisa membatalkan khilaf yang ada
sebelumnya, akan tetapi ijma’ bisa mencegah terjadinya khilaf. Ini merupakan
pendapat yang rojih karena kuatnya pendalilannya. Dan dikatakan : tidak
disyaratkan yang demikian, maka bisa ditetapkan atas salah satu pendapat yang
ada sebelumnya pada masa berikutnya, kemudian ia menjadi hujjah bagi ummat yang
setelahnya. Dan menurut pendapat jumhur, tidak disyaratkan berlalunya zaman
orang-orang yang bersepakat, maka ijma’ ditetapkan dari ahlinya (mujtahidin)
hanya dengan kesepakatan mereka (pada saat itu juga, pent) dan tidak boleh bagi
mereka atau yang selain mereka menyelisihinya setelah itu, karena dalil-dalil
yang menunjukkan bahwa ijma’ adalah hujjah, tidak ada padanya pensyaratan
berlalunya zaman terjadinya ijma’ tersebut. Karena ijma’ dihasilkan pada saat
terjadinya kesepakatan mereka, maka apa yang bisa membatalkannya?
Dan jika sebagian mujtahid mengatakan sesuatu
perkataan atau mengerjakan suatu pekerjaan dan hal itu masyhur di kalangan
ahlul Ijtihad dan tidak ada yang mengingkarinya dengan adanya kemampuan mereka
untuk mengingkari hal tersebut, maka dikatakan : hal tersebut menjadi ijma’,
dan dikatakan : hal tersebut menjadi hujjah bukan ijma’, dan dikatakan : bukan
ijma’ dan bukan pula hujjah, dan dikatakan : jika masanya telah berlalu sebelum
adanya pengingkaran maka hal itu merupakan ijma’, karena diam mereka
(mujtahidin) secara terus-menerus sampai berlalunya masa padahal mereka
memiliki kemampuan untuk mengingkari merupakan dalil atas kesepakatan mereka,
dan ini merupakan pendapat yang paling dekat kepada kebenaran.
***
Ijma’ adalah satu hujjah syar’iyyah yang dijadikan
pijakan oleh para ulama Ahli Sunnah dari jaman ke jaman dalam setiap masalah
‘ilmiyyah diniyyah.
Al-Imam asy-Syafi’i berkata: “Sumber ilmu ada empat,
yaitu: al-Kitab, Sunnah, Ijma’ atau Qiyas. [ar-Risalah, hlm. 39,
‘Ilmul-Muwaqi’in, 4/105].
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Apabila telah
tetap Ijma’ pada suatu hukum (di antara hukum-hukum syar’i), maka tidak boleh
bagi seseorang untuk keluar dari Ijma’ mereka”. [Al-Fatâwâ, 10/20].
Ijma’ adalah pokok yang ketiga yang menjadi pijakan
ilmu dan agama. Para ulama menimbang dengan tiga ushul ini terhadap seluruh apa
yang ditempuh manusia, baik ucapan maupun perbuatannya, yang nampak maupun yang
tersembunyi yang memiliki hubungan dengan agama. [Al-Washitiyyah].
Keempat sumber di atas saling bersesuaian dan tidak
ada pertentangan, karena antara yang satu dengan lainnya saling membenarkan dan
saling menguatkan. Oleh sebab itu, kita boleh mengatakan bahwa dasar
dalil-dalil syar’i adalah Al-Qur`ân, dengan tinjauan selainnya sebagai penjelas
Al-Qur`ân, atau sebagai cabang dan semua bersandar kepadanya. Boleh juga kita
katakan sumber dalil adalah Rasulullah n dengan tinjauan Al-Qur`ân disampaikan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Sunnah itu datang dari Allah
l sebagai penjelas terhadap Al-Qur`ân. Adapun Ijma’ dan Qiyas, penetapannya
berdasarkan kepada Al-Qur`ân dan Sunnah.
Syaikhul-Islam Ibnu Tamiyyah berkata: “Al-Qur`ân,
Sunnah dan Ijma’ isinya satu, karena semua yang ada di dalam Al-Qur`ân
disetujui Rasulullah n dan disepakati oleh umat. Sehingga tidak ada dari umat
ini, kecuali ada yang mewajibkan untuk mengikuti Al-Qur`ân. Demikian juga,
semua yang disunnahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Al-Qur`ân
telah memerintahkan untuk mengikutinya, dan umat telah sepakat terhadap masalah
itu. Demikian pula, seluruh masalah yang kaum muslimin telah sepakat di
atasnya, maka itu adalah kebenaran yang sesuai dengan Al-Qur`ân dan Sunnah”.
[Al-Fatâwâ, 7/40]
Hujjahnya Ijma’ ditunjukkan oleh yang lainnya,
(hujjahnya Ijma’ ditujukkan oleh Al-Qur`ân dan Sunnah).
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin berkata: “Ini
merupakan tiga landasan pokok yang berlandaskan kepadanya ilmu dan agama. Ushul
yang pertama adalah Al-Qur’aan, uhsul yang kedua adalah Sunnah, dan ushul yang
ketiga adalah Ijma’. Al-Qur`ân dan Sunnah berdiri dengan sendirinya, sedangkan
Ijma’ berdiri di atas yang lainnya, karena tidak ada Ijma’ kecuali berdasarkan
Al-Qur`ân dan Sunnah”. [Syarh al-Wasyithiyyah, 1/324].
Demikian, kalau kita katakan bahwa yang dimaksud
hablullah adalah Al-Qur`ân, Sunnah, dan Ijma, karena ketiganya menunjukan pada
satu hakikat. Apa yang terdapat dalam Al-Qur`ân, maka Rasulullah mayetujuinya,
dan sebagian besar umat bersepakat atasnya.
Ada tiga masalah penting yang berkaitan dengan Ijma’.
ADAKAH IJMA’ SETELAH PARA SAHABAT?
Jumhur ‘ulama menetapkan adanya Ijma’ setelah para sahabat. Sedangkan Dâwud bin
‘Ali azh-Zhahiri, dan Ibnu Hazm, Ibnu Hibban mengatkan, bahwa Ijma hanya ijma’
para sahabat. Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur ulama bahwa Ijma’ tidak
hanya Ijma’ para sahabat. Pendapat ini dikuatkan al-Khatib al-Baghdadi,
al-Fiqhu al-Mutafaqi (1/327-328), asy-Syanqiti dalam Mudzakirah Ushul-Fiqih
(155), Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin, dan penjelasannya sebagai
berikut:
1. Ijma’ para sahabat mungkin terjadi dan mudah untuk
mengetahuinya. Adapun Ijma’ orang setelahnya, biasanya sulit untuk terjadi dan
sulit untuk mengetahuinya. Oleh sebab itu, para ulama sangat berhati-hati dalam
menukil Ijma’. Al-Imam asy-Syâfi’i berkata: “Kalau boleh bagi seseorang untuk
berkata pada ilmu tertentu ‘telah Ijma kaum muslimin dulu dan sekarang dalam
menetapkan khabar ahad (hadits ahad)’ (dalam hujjah). Dan bahwasannya tidak
didapatkan seorangpun dari kalangan fuqaha, kecuali ia menetapkan hadits ahad,’
maka itu adalah boleh bagiku. Tetapi aku mengatakan, aku tidak menghapalnya
dari kalangan fuqaha bahwa mereka berselisih dalam menetapkan hadits ahad
(sebagai hujjah), karena aku telah sifatkan bahwa semua itu dikatakan oleh
mereka, para ulama”. [Ar-Risalah, 458. Lihat juga ar-Risalah, 534].
Syaikhul-Islam dalam Majmu’atul-Fatâwâ (XI/ 341)
berkata: ‘Secara umum, Ijma’ adalah perkara yang disepakati oleh kaum muslimin,
dari kalangan fuqaha, kaum sufi, ahli hadits, ahli kalam, dan yang lainnya,
walaupun diingkari oleh sebagian ahli bid’ah dari kalangan Mu`tazilah dan
Syi’ah. Selanjutnya, Ijma’ yang diakui adanya, adalah Ijma’ para sahabat.
Adapun setelahnya, merupakan perkara yang biasanya sulit diketahui. Oleh karena
itu, para ulama berbeda pendapat berkaitan dengan Ijma’ yang terjadi setelah
para sahabat. Juga berbeda pendapat tentang beberapa masalah yang masuk ke
dalam bahasannya, seperti Ijma’ tabi’in terhadap salah satu pendapat sahabat.
Juga Ijma’ yang terjadi sebelum ahli masanya habis, sehingga sebagian dari
mereka menyelisihinya. Demikian pula Ijma’ sukuti, dan yang lainnya”.
2. Riwayat al-Imam Ahmad yang mengatakan: “Barang
siapa yang mengaku ada Ijma’, maka ia telah berdusta”.
Para ulama telah menjelaskan maksud ucapan Imam Ahmad dengan beberapa
kemungkinan, disebabkan beliau sendiri dalam banyak masalah telah berhujjah
dengan Ijma dan menjadikannya sebagai dalil, di antaranya:
Pertama. Sebagai bentuk kehati-hatian beliau dalam
menukil Ijma’, agar tidak mudah mengatakan Ijma’ sebelum mengadakan penelitian
secara seksama terhadap seluruh perkataan para ulama.
Kedua. Bahwasanya Imam Ahmad tidak meniadakan Ijma’
secara mutlak, tetapi hanya menunjukkan sulit terjadinya dan sulit
mengetahuinya.
Al-Imam Ibnul-Qayyim berkata: “Ucapan Imam Ahmad bukan
berarti menunujukan tidak mungkin adanya Ijma’ (setelah para sahabat), tetapi
al-Imam Ahmad dan ahli hadits membantah kepada orang yang menolak Sunnah yang
shahih dengan Ijma’. Oleh karena itu, al-Imam asy-Syâfi’i dan Ahmad
menjelaskan, bahwa itu pernyataan yang dusta dan tidak boleh menolak Sunnah
dengan semisalnya. [Mukhtashar Sawâ`iq, 506]
3. Jika Ijma’ itu terjadi dan diketahui secara pasti,
maka tetap menjadi hujjah bagi orang yang setelahnya.
Jika para ulama (mujtahidin) Ijma’ pada satu masa setelah para sahabat dan
diketahui dengan pasti, maka Ijma’ itu tetap sebagai hujjah bagi orang yang
setelahnya, sebab dalil menunjukkan bahwa Ijma’ adalah sebagai hujjah, dan
tidak ada pengkhususan bahwa Ijma’ yang bisa dijadikan hujjah hanya Ijma’ para
sahabat. Sebab, tidak boleh mengkhususkan sebuah dalil sehingga ada dalil yang
mengkhususkannya. Demikian juga, harus membedakan antara adanya perbedaan,
apakah mungkin Ijma’ setelah para sahabat ataukah tidak, dengan hujjahnya Ijma’
atau tidak. Sehingga bagi orang yang mengatakan Ijma’ adalah hujjah, apabila ia
mengetahui adanya Ijma’, maka Ijma’ adalah hujjah baginya.
Al-Imam al-Ghazali berkata: “Dalil-dalil dari
Al-Qur`ân, Sunnah dan akal yang menunjukkan bahwa Ijma’ adalah hujjah yang
tidak membedakan suatu waktu dengan waktu yang lainya. Apabila para tabi’in
bersepakat itu adalah Ijma’ seluruh umat dan barang siapa yang menyelisihinya,
maka ia telah menempuh jalan selain jalan orang-orang beriman”.
APAKAH IJMA’ HARUS ADA DASARNYA DARI AL-KITAB DAN
SUNNAH?
Berdasarkan dengan poin-poin berikut ini, maka Ijma’ harus berlandaskan dalil
syar’i:
1. Jumhur ulama telah sepakat bahwa umat tidak akan
bersepakat kecuali di atas dalil syar’i. Sebab umat ini tidak mungkin
bersepakat di atas hawa nafsu dan berkata kepada Allah dengan tanpa ilmu atau
berkata tanpa dalil. Umat ini telah dijaga dari kesalahan (bersepakat di atas
kebatilan). Dan apabila berkata kepada Allah dengan tanpa dalil, berarti ini
merupakan suatu kesalahan.
Al-Imam asy-Syâfi’i berkata: “Apabila nash mengandung
dua makna, maka wajib bagi ahli ilmu untuk tidak membawa makna nash kepada
khusus, tidak kepada umum, kecuali dengan dalil Sunnah dan Ijma’ ulama
muslimin, yang mereka tidak mungkin bersepakat untuk menyelisihi Sunnah”.
[Ar-Risalah, 323].
Beliau rahimahullah berkata: “Kita mengetahui bahwa
mereka (umat) tidak akan bersepakat untuk menyelisihi Sunnah Rasulullah”.
[Ar-Risalah, 472].
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Kaum muslimin
tidak akan bersepakat kecuali dengan (sesuatu) yang ada nashnya dari
Rasulullah, maka yang menyelisihi mereka (Ijma’), berarti menyelisihi
Rasulullah, dan menyelisihi Rasulullah berarti menyelisihi Allah”. [Al-Fatâwâ,
19/195].
Al-Imam Ibnul-Qayyim berkata: “Mustahil umat
bersepakat untuk menyelishi nash (dalil), kecuali ada nash lain yang
memansukhnya (menghapusnya)”. [‘Ilamul-Muwaqi’in, 1/367].
Syaikh Muhammad Shâlih al-‘Utsaimin berkata: “Tidak
mungkin umat bersepakat untuk menyelisihi dalil yang jelas yang tidak dimansukh.
Maksudnya, apabila umat bersepakat di atas haq, maka tidak mungkin bersepakat
untuk menyelisihi dalil yang jelas, sebab itu bathil. Orang yang menyelisihi
dalil yang jelas yang tidak dimansukh, pasti ia berada di atas kebathilan, dan
umat tidak mungkin bersepakat berada di atas kebathilan”. [Syarah al-Ushul fî
‘Ilmu Ushul, 467].
Pendapat ini didasarkan pada kaidah-kaidah berikut.
Pertama : Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan seluruh
permasalahan agama. Tidak ada perkara yang berkaitan dengan agama ini kecuali
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya.
Kedua : Nash syar’i telah meliputi pada setiap perkara yang dibutuhkan manusia.
Sehingga tidak ada masalah, kecuali ada dalil yang menunjukannya, baik dalil
yang jelas maupun tersembunyi.
Ketiga : Sebahagian ulama terkadang tidak mendapatkan sebuah nash, sehingga ia
berdalil dengan ijtihad atau Qiyas. Sedangkan sebahagian lainnya mengetahui
nashnya, lalu ia berdalil dengan nash itu, hingga ijtihad seorang mujtahid itu
bertepatan dengan nash yang dijadikan dalil oleh mujtahid yang mengetahui
dalilnya.
2. Penelitian membuktikan bahwa tidak didapatkan Ijma’
kecuali ada dalilnya.
3. Kadang ada Ijma’ tidak nampak dalilnya bagi kita,
tetapi sesungguhnya disana ada dalil yang tersembunyi maknanya bagi kita,
sedangkan bagi ahlil-ijma’ tidak.
4. Para ulama telah berselisih, apakah Ijma’ boleh
bersandar dengan ijtihad atau Qiyas.
Jika ada orang yang mengklaim ada Ijma’ yang tanpa dalil, maka tidak lepas dari
salah satu dari tiga kemungkinan.
Pertama : Penukilan Ijma tidak benar.
Kedua : Dimungkinkan adanya dalil yang memansukhnya, kemudian para ulama
bersepakat pada dalil yang memansukhnya, sebagaimana dijelaskan oleh al-Imam
Ibnul-Qayyim di atas.
Ketiga : Dimungkinkan pada mereka ada dalil umum yang tersembunyi bagi diri
kita, sedangkan mereka mengetahuinya.
JIKA PARA SAHABAT BERSELISIH DENGAN DUA PENDAPAT, MAKA
TIDAK BOLEH MENDATANGKAN PENDAPAT KETIGANYA ATAU MENGKLAIM IJMA’ SETELAHNYA
Jika para sahabat berselisih dalam satu masalah, maka hendaklah kaum muslimin
untuk tidak keluar dari ucapan mereka, dan tidak boleh mendatangkan ucapan atau
pendapat baru yang tidak pernah dikatakan oleh mereka, sebab kebenaran beredar
di antara mereka. Para sahabat tidak akan bersepakat dalam kesesatan, dan Allah
l tidak akan membiarkan mereka dalam kesesatan. Hal ini berdasarkan dalil di
bawah ini.
Pertama. Dalil syar’i.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ n ( لاَ
تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ
خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ ) رواه مسلم
Dari Tsauban, ia berkata: Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Terus-menerus ada kelompok dari ummatku, yang
mereka tetap nampak di atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang
mencerca mereka sampai datang ketentuan Allah (hari Kiamat), dan mereka dalam
keadaan seperti itu”. [HR Muslim]
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ n قَالَ «
إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ
مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا ».
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah akan mengutus dalam sesiat seratus tahun
kepada umat ini seseorang (mujadid) yang membaharui agamanya. [HR Abu Dâwud].
Dalil di atas menunjukan bahwa tidak mungkin umat ini
bersepakat di atas kebatilan, dan hak dalam satu masa sirna tidak ada yang
mengatakannya, atau seluruh ulama tidak ada yang tahu, sebab semua itu
bertengtangan dengan dalil di atas.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Sesungguhnya
mereka (Salafush-Shalih) lebih utama daripada orang-orang setelahnya.
Mengetahui Ijma’ mereka dan perselisihan mereka dalam ilmu dan agama, (itu)
lebih baik dan lebih bermanfaat daripada mengetahui Ijma’ dan perselisihan
setelah mereka. Karena Ijma’ Salafush-Shalih terjaga dari kesalahan. Apabila
mereka berselisih, maka kebenaran tidak keluar dari mereka. Kebenaran bisa
diketahui dari salah satu ucapan mereka. Tidak boleh menyalahkan salah satu
ucapan mereka, sehingga diketahui bahwa Al-Qur`ân dan Sunnah telah
menyelisihinya”. [Al-Fatâwâ, 13/24]
Kedua : Amal Para Ulama.
1. Al-Imam Abu Hanifah berkata: “Apabila datang berita dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam maka sepenuhnya kami menerimanya. Apabila datang berita dari
para sahabat Nabi maka kami memilih salah satu ucapan mereka (apabila mereka
berselisih). Dan apabila datang ucapan dari para tabi’in maka kami mengikuti
pendapat al-Imam Malik bin Anas yang berkata dalam al-Muwatha`, ‘Di dalamnya
terdapat Hadits Nabi, ucapan para sahabat, para tabi’in, pendapat-pendapat
mereka’. Kadang aku perpendapat dengan pendapatku dalam masalah ijtihad, dan
apa-apa yang aku dapatkan dari para ahlu ilmi yang berada di negara kami dan
kami tidak keluar dari ucapan mereka”.
2. Al-Imam Malik berkata tentang kitabnya,
al-Muwatha`: “Di dalamnya ada hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ucapan-ucapan para sahabat, tabi’in dan pendapat-pendapat mereka, dan aku
sungguh berbicara dengan pendapatku atas ijtihad, dan apa-apa yang aku dapatkan
dari perkataan ahlul ilmi yang ada di negara kami. Aku tidak pernah keluar dari
pendapat mereka (beralih) kepada yang lainnya. [Tatrib al-Madarik, 1/193].
3. Al-Imam asy-Syafi’i berkata: Ilmu ada tingkatannya.
Pertama : Al-Qur`ân dan Sunnah yang shahîh.
Kedua : Ijma’ yang tidak terdapat di dalam Al-Qur`ân dan Sunnah.
Ketiga : Perkataan salah seorang di antara para sahabat dan tidak diketahui ada
yang menyelisihinya.
Keempat : Perbedaan di kalangan para sahabat.
Kelima : Qiyas terhadap salah satu tingkatan yang di atas. Tidak mengambil
selain Al-Qur`ân dan Sunnah selama keduanya ada, karena ilmu diambil dari yang
atas”. [Al-Madkhal ila Sunanil-Kubra, 110]
4. Al-Imam Ahmad berkata: “Apabila dalam suatu
permasalahan ada hadits Nabi maka kami tidak mengambil ucapan salah seorang
dari para sahabat, juga orang-orang setelah mereka. Apabila dalam suatu
permasalahan ada perbedaan di antara para sahabat maka kami memilih salah satu
ucapan mereka, dan kami tidak keluar dari ucapan mereka kepada ucapan yang
selainnya. Serta, apabila tidak didapatkan ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabatnya maka kami memilih ucapan para tabi’in”.
[Al-Musawadah, 276].
5. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Barang
siapa menafsirkan Al-Qur`ân dan Hadits dengan penafsiran yang tidak dikenal
dari para sahabat dan Tabi’in maka dia telah mengada-adakan dusta terhadap
Allah, menyimpang dari ayat-ayat Allah, memalingkan kalam Allah dari yang
semestinya, dan telah membuka pintu bagi orang-orang zindik lagi menyimpang
(untuk menyelewengkan ayat-ayat Allah dari tempatnya). Dan hal ini adalah suatu
perkara yang telah jelas kebatilannya dari agama Islam”. [Al-Fatâwâ, 13/243].
6. Al-Imam Ibnul-Qayyim berkata: “Demikianlah, kondisi
firqah-firqah yang baru dalam syari’ah terhadap syari’ah. Di antara mereka
menta’wil syari’ah dengan ta’wil yang bukan ta’wil firqah lainnya. San setiap
firqah menyangka bahwa yang dita’wil itulah yang dimaksud pemilik Syari’ah,
sehinga mereka memporakporandakan syari’ah, dan menjauhkan dari keadaannya yang
pertama”. [I‘lam Muwaqi’in]